Usaha peternakan sapi perah merupakan salah satu bidang usaha strategis, karena dapat menjadi pemasok kebutuhan susu nasional untuk pemenuhan dan peningkatan gizi masyarakat. Akan tetapi kotoran ternak menjadi faktor utama penghambat pengembangan dan keberlangsungan usaha peternakan. Seekor sapi perah memproduksi kotoran sebanyak 40 sampai 50% dari jumlah pakan yang dikonsumsi.
Peraturan Pemerintah Nomor 95 Tahun 2012 juncto Peraturan Menteri Pertanian Nomor 11 Tahun 2020 berbunyi setiap usaha peternakan harus memiliki fasilitas penanganan limbah dan kotoran. Namun faktanya hampir seluruh peternak tidak memiliki fasilitas tersebut karena keterbatasan kepemilikan lahan di sekitar kandang. Akibatnya hampir seluruh kotoran dibuang ke selokan/sungai yang menyebabkan polusi dan kerusakan lingkungan.
Salah satu wilayah yang mengalami permasalahan ini adalah peternakan di Batu. Sebab kota Batu adalah wilayah kota dengan jumlah penduduk dan pemukiman yang padat. Disamping itu sebagai daerah pariwisata yang riskan terhadap limbah kotoran ternak.
Menyikapi permasalahan tersebut Dosen Universitas Brawijaya (UB) melakukan pendampingan dan pelatihan pengolahan biomasa limbah kotoran sapi perah melalui proses pengomposan kepada Kelompok Tani Sumber Bumi Makmur Desa Tlekung, Junrejo, Batu, April – Agustus 2023. Tim yang tergabung dalam Doktor Mengabdi itu terdiri dari Dr. Marjuki (Fakultas Peternakan), Dr. Ita Wahju Nursita (Fakultas Peternakan), Prof. V.M. Ani Nurgiartiningsih (Fakultas Peternakan), Yuli Frita Nuningtyas, M.Sc. (Fakultas Peternakan), Dr. Lenny Sri Nopriani (Fakultas Pertanian), dan Dr. Desi Tri Kurniawati (Fakultas Ekonomi dan Bisnis). Serta melibatkan lima mahasiswa program sarjana (S1) dari Fapet UB.
Dr. Marjuki selaku ketua tim memaparkan permasalahan yang dihadapi peternak di sana. Antara lain jumlah produksi kotoran sapi perah yang sangat tinggi, belum ada penanganan masalah limbah, dan kurangnya pengetahuan peternak tentang teknologi pengolahan limbah.
Pengolahan biomasa limbah kotoran diawali dengan proses pengomposan secara kolektif pada tiap-tiap kelompok peternak menggunakan sistem bank kotoran. Kemudian seluruh limbah diangkut ke unit pengomposan untuk diproses menjadi pupuk kompos organik. Proses pengomposan akan dilaksanakan secara aerob atau terbuka dengan penambahan serasah sebagai sumber karbon dan penambahan starter bakteri azotobacter untuk mempersingkat proses pengomposan sehingga dalam waktu satu sampai dua minggu sudah selesai dan produknya berupa pupuk kompos siap digunakan.
“Melalui pendampingan dan pelatihan ini kami akan melakukan perbaikan manajemen pengolahan limbah kotoran sapi menggunakan teknologi fermentasi. Sehingga dapat meningkatkan kemampuan peternak dalam mengolah limbah disamping itu juga menaikan nilai ekonomis dan manfaatnya, ” ungkap Marjuki (dta/OKY/Humas UB)