Ari Pratiwi: Gunakan Istilah Toxic dengan Bijak

Setelah sukses menggelar Webinar Series #1 beberapa waktu yang lalu, Universitas Brawijaya melalui Tim Layanan Konseling Mahasiswa kembali menggelar Webinar Series #2.

Kali ini, tim yang dinaungi langsung oleh Pusat Pengembangan Pendidikan Akademik dan Profesional (P3AP) Lembaga Pengembangan Pendidikan dan Penjaminan Mutu (LP3M) UB ini, mengangkat tema “Toxic Relationship: Antara Aku, Kamu, Teman, dan Keluarga”. 

Webinar ini digelar secara online melalui media zoom meeting dan disiarkan langsung pada channel YouTube Konseling Universitas Brawijaya dan diikuti oleh sekitar 900 peserta dari berbagai fakultas di UB dan masyarakat umum, Sabtu (10/07/2021). 

Dr. Dra. Ani Budi Astuti, M.Si selaku Sekretaris LKM P3AP LP3M UB dalam sambutannya berharap, kegiatan webinar ini dapat bermanfaat bagi  para peserta dan dapat mengaplikasikan ilmunya dalam kehidupan sehari-hari. 

Pada kesempatan ini, Tim LKM UB mengundang Ari Pratiwi, S.Psi., Psikolog selaku konselor LKM UB sebagai narasumber. 

Dalam pemaparannya, ia mengatakan, secara umum toxic adalah sesuatu yang merusak atau menimbulkan reaksi tertentu. Toxic relationship adalah relasi atau hubungan yang pada level tertentu dapat merusak hubungan itu sendiri. Toxic relationship dipengaruhi oleh frekuensi dan intensitas seberapa sering dan berat toxic itu dilakukan kepada orang lain atau sebuah relasi. 

Sedangkan, toxic person adalah seseorang yang mungkin meracuni orang lain sehingga tidak bisa mencapai kebahagiaan dan hidup produktif. Ada beberapa kelompok yang dapat berperilaku toxic dalam sebuah hubungan diantaranya toxic parent/family (keluarga), toxic lover (pacar), toxic friend/frenemies (teman), dan toxic people (orang itu sendiri). 

Menurutnya, seseorang dapat dikategorikan sebagai toxic people apabila semua orang memberikan validasi bahwasanya orang tersebut memang toxic. Kemudian, toxic people apabila orang tersebut toxic secara personal atau hanya kepada diri kita. Atau toxic people sebagai respon, artinya apabila kita merasa semua orang toxic, kitalah toxic people yang sesungguhnya. 

“Oleh karena itu, kita perlu crosscheck. Kalau kita merasa semua orang toxic, bisa jadi kitalah toxic people yang sesungguhnya. Toxic people mungkin sebenarnya respon dari apa yang kita lakukan,”katanya.

Ari Pratiwi, S. Psi., Psikolog

Dalam webinar ini pula, Ari memberikan tips dalam menghadapi situasi toxic. Pertama, take it, menerima apa adanya dan dihadapi. Kedua, leave it atau pergi/meninggalkan orang tersebut. Leave it merupakan keputusan tersulit karena harus keluar dari zona nyaman. Dan yang terakhir adalah change it artinya mengubah perspektif, pendapat dan perilaku kita. 

“Perlu diingat, tidak ada cara yang mudah. Baik take it, leave it, maupun change it, selalu ada resiko yang harus diambil. Namun harus terus dicoba. Kalau tidak dicoba kita akan terus menerus berada dalam situsi toxic”,katanya. 

Dosen Psikologi UB itu juga mengatakan bahwa orang-orang terlalu mudah melabelling orang lain toxic tanpa aware dengan dirinya sendiri. Sehingga, membuat dirinya selalu terjebak dalam toxic relationship.

“Gunakan istilah toxic dengan bijak. Hati-hati ketika melabel, lihat dulu kasusnya. Apakah benar ia toxic atau tidak. Labelling yang berlebihan akan membuat kita membatasi banyak hal dan membatasi gerak kita. Tapi awereness yang tidak dilakukan, akan membuat kita terjebak di situasi toxic tanpa kita sadari. Keduanya sama-sama berbahaya tetapi gunakanlah dengan bijak,”pungkasnya. (Vika/VQ)