
Peneliti dari Departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya (FISIP UB) menggelar diskusi tentang Aktivisme dan Partisipasi Politik Mahasiswa Pasca Reformasi, Sabtu (04/12/2021) secara daring. Bekerjasama dengan Consortium for Indonesian Political Research (CIPR), diskusi ini menyampaikan berbagai temuan terkait dengan aktivisme sosial politik mahasiswa yang jarang diketahui oleh publik.
Dalam paparannya, ketua peneliti, Dr. M. Faishal Aminuddin menyampaikan bahwa studi tentang aktivisme mahasiswa bisa memotret tiga hal: pergeseran latar belakang sosial ekonomi keluarga, ideologi dan orientasi politik, serta independensi gerakan mereka.
Anggota peneliti, M. Fajar Ramadlan yang juga dosen Ilmu Politik FISIP UB menyampaikan bahwa riset ini dilakukan terhadap responden mahasiswa FISIP seluruh Indonesia. Jumlah responden sebesar 497 mahasiswa aktif yang tersebar 26 universitas.
“Secara demografis, sebanyak 43% responden berasal dari keluarga biasa/rakyat kebanyakan, sedangkan 33% responden berlatar belakang keluarga pegawai biasa. Ini menunjukkan perluasan akses pendidikan tinggi dari mahasiswa kelas menengah bawah. Sebagian besar mereka menyatakan bahwa keluarganya secara politik menyetujui demokrasi, memiliki gaya hidup modern dan secara keagamaan moderat,” kata Fajar.
Sebanyak 77 persen menyatakan mengikuti organisasi mahasiswa di mana keterlibatan tersebut bertujuan untuk: memberikan advokasi untuk membela kebebasan berpendapat dan kepentingan mahasiswa, mengkritisi berbagai kebijakan pengelolaan universitas, dan belajar bereksperimen untuk mengelola pemerintahan.

Kendatipun demikian, partisipasi mereka dalam perdebatan publik tidak terlalu tinggi hanya sebesar 31 persen. Dari persentase tersebut, mereka mengaku memantau isu-isu public melalui media sosial mereka. Namun cara untuk menyampaikan pendapat yang paling popular adalah dengan demonstrasi jalanan (42%) dan menulis di website atau blog (37%). Cara lainnya yang kurang popular dan kurang disukai adalah membuat petisi, boikot dan pemogokan umum.
Partisipasi dalam politik electoral justru anjlok. Hanya 27 persen dari mereka yang terlibat aktif. Partisipasi tersebut dituangkan dalam sikap megikuti pemilihan umum, terlibat dalam pengawasan pemilu dan memberikan edukasi literasi politik bagi warganegara.
Partisipasi politik lainnya cenderung kurang disetujui seperti keterlibatan sebagai simpatisan partai politik, penggalang dukungan bagi kandidat, dan aktif sebagai konsultan atau spin doctor bagi kandidat. Mayoritas dari mereka atau sekitar 40 persen tidak menyetujui gugatan konstitusional atas sengketa pemilu. Apatisme dalam politik electoral ini bisa memperlihatkan bahwa posisi aktivisme mahasiswa berada diluar tarikan kepentingan politik praktis.
Tidak kalah menarik adalah pandangan mahasiswa terhadap rezim politik dalam 10 tahun terakhir. Mereka menilai bahwa tidak banyak perbaikan dalam kehidupan sosial, ekonomi (43%), stabilitas keamanan (49%), harmoni dan kerukunan (49%), serta kehidupan politik yang demokratis (47%). Persepsi ini terkait dengan penilaian atas kinerja legislatif, yakni DPR RI sebesar 54% menilai kurang baik, DPRD Provinsi dan Kabupaten Kota, 48% dinilai kurang baik. Termasuk partai politik dinilai kurang berkinerja baik (50%).
Sedangkan pada sektor institusi penegakan hukum, kinerja kepolisian 40% menilai baik, dan 36% menilai kurang baik. Pada kinerja kejaksaan, 44% menilai baik dan 40% menilai kurang baik. Adapun kinerja kehakiman 45% menilai kurang baik, dan 39% menilai baik.
Mahasiswa menilai, sektor yang paling perlu mendapat perbaikan adalah sektor pembuatan kebijakan (27persen). Hal ini juga merefleksikan kebijakan tentang omnibus law, revisi UU KUHP yang menjadi isu utama gerakan mahasiswa selama kurang lebih 2 tahun terakhir, menjadikan sektor pembuatan kebijakan adalah sektor yang paling bermasalah.

Adapun pandangan mahasiswa terhadap gerakan mahasiswa, respon menilai bahwa gerakan mahasiswa merupakan gerakan penting sebagai mekanisme perubahan sosial serta check and balances (53%), mahasiswa menolak jika gerakan mahasiswa dianggap hanya penting di level lokal (58%), serta menolak anggapan bahwa gerakan mahasiswa tidak lebih penting daripada gerakan lain (buruh, NGO, petani, dsb) (51%). Mahasiswa juga menolak bahwa gerakan mahasiswa dianggap tidak terlalu penting atau tidak populer (50%).
Dalam kesempatan ini, Dosen Ilmu Politik Universitas Indonesia, Dr. Panji A. Permana menyampaikan bahwa dalam variabel keterlibatan pada politik electoral terdapat indikasi masih kuatnya sentimen anti partai dan anti politik praktis. Mahasiswa mampu memposisikan dirinya berdiri pada isu-isu kewarganegaraan atau publik.
Panji menilai, gerakan mahasiswa Pasca Reformasi memiliki jiwa zaman (zeitgeist) yang berbeda dibandingkan dengan gerakan mahasiswa di masa lalu (’98,’80an, dan ’65). Gerakan mahasiswa Pasca Reformasi, menurutnya, menghadapi beberapa tantangan, seperti ketiadaan musuh bersama, menurunnya derajat warisan dari gerakan mahasiswa sebelumnya, mencari model partisipasi politik dalam rezim demokratis, berhadapan dengan wajah “otoritarianisme” yang tidak lagi hanya bersumber dari negara, melainkan juga dari masyarakat, elit, pemilik modal/oligarki.
Selain itu, tantangan gerakan mahasiswa juga hadir dari tekanan sistem perkuliahan, serta diversifikasi ruang publik melalui media sosial – yang menjadikan arena publik dan social influencer yang tidak lagi terkonsentrasi pada satu kekuatan dominan. [FJR/Humas UB]